Hamas Menerima Rencana Mesir

Pemimpin senior Hamas, dan Kepala Biro Politik, Khaled Misy’al, menyatakan Hamas menerima rencana Mesir, sebagai upaya mengakhiri konflik yang memperebutkan kekuasaan dengan Fatah, sebagai langkah baru menuju pemilihan presiden dan anggota perlemen.

Sementara itu, Mahmoud Zahar, yang juga seorang pemimpin senior Hamas yang mewakili wilayah Gaza, menyatakan bahwa Hamas menilai inisiatif Mesir sebagai hal yang ‘positif’. Zahar lebih lanjut menyatakan, Hamas mendukung langkah Mesir yang mendorong rekonsiliasi dengan Fatah, dan mengakhiri perbedaan antara Tepi Barat dengan Jalur Gaza. Dalam deklarasinya,  Zahar menyatakan bahwa delegasi Hamas akan dipimpin oleh Kepala Biro Politik Hamas, Khaled Misy’al.

Tetapi, pemimpin Hamas yang berasal dari Jalur Gaza itu, tetap pada pendirianya, sekalipun menerima langkah-langkah yang diambil Mesir, tetap Hamas tidak mau memberikan konsesi apapun. “Posisi kami berbasis pada realitas”, ujar Zahar kepada seorang wartawan di Kairo, Mesir.

Continue reading

Mengapa Penguasa dan Pengusaha Arab Doyan Membeli Klub Sepakbola Dunia?

Satu lagi berita yang cukup menghebohkan datang dari tanah atau orang Arab. Setelah Syeikh Mansour membeli Manchester City, dan Sulaiman Al Fahim mengakuisi Portsmout, kini pangeran Faisal bin Fahd bin Abdullah asal Saudi yang berniat membeli sebagian besar klub sepakbola elit Eropa, Liverpool.

Membeli sebagian besar saham berarti memiliki, dan itu artinya menyangkut uang ratusan juta dollar. Jika Manchester City dilega dengan harga Rp, 2,8 trilyun, dan Portsmouth ditebus dengan uang Rp. 986,7 milliar, maka Liverpool diperkirakan akan dialih-tangan dengan kisaran harga Rp5,15 triliun! Jumlah yang fantastis, dan jika terjadi, maka uang sebanyak itu bisa membayar utang-utang Indonesia yang tengah krisis.

Pertanyaannya: mengapa para penguasa dan pengusaha Arab itu gemar membeli klub-klub sepak bola dunia?

Continue reading

Fenomena Urbanisasi Pasca Lebaran; Transfer Orang Miskin Ke Kota

Fenomena Urbanisasi Pasca Lebaran; Transfer Orang Miskin Ke Kota

oleh : Dedy Yanwar Elvani

Pekerjaan besar tengah menanti pemerintah kota seusai perayaan lebaran. Pemerintah kota begitu dipusingkan dengan kehadiran “orang-orang asing” yang datang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib hidup di kota. Urbanisasi memang bukanlah termasuk tindakan yang melanggar aturan. Merujuk bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang memang membebaskan persebaran warganya, karena itu adalah hak setiap warga untuk mencari penghidupan yang layak dimanapun tempatnya (pasal 27 ayat 2). Akan tetapi yang jadi masalah adalah jika urbanisasi ini dihadapkan pada sebuah realitas, yakni menumpuknya konsentrasi migrasi pada beberapa kota tertentu. Akibatnya nampak terlihat sekarang ini (paling parah di DKI Jakarta), kondisi kota sudah tidak mampu lagi menampung jumlah penduduknya (oversize people). Apalagi jika frekuensi urbanisasi kian tahun semakin bertambah. Tengoklah Provinsi DKI Jakarta yang kedatangan pendatang baru rata-rata 200.000-250.00 ribu jiwa pertahunnya, padahal kebutuhan 8,7 juta warganya (13,2 juta versi PBB) belum sepenuhnya bisa dipenuhi Pemprov DKI Jakarta, seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Urbanisasi pada tingkatan tertentu dari sisi ekonomi justru akan menguntungkan kota tujuan urbanisasi. Dalam teori umum semakin meningkat persentase penduduk suatu kota semakin meningkatkan produk domestik bruto dan capaian pembangunan manusia dari penduduk di kota itu. Jika begitu mengapa urbanisasi saat ini justru menjadi momok bagi pemerintah kota? Jawabannya adalah karena urbanisasi yang terjadi sekarang ini sudah pada tingkatan tidak terkontrol, akibatnya urbanisasi tidak lagi menjadi faktor kemajuan kota. Bukti empiris menunjukkan hubungan antara urbanisasi dan kemajuan itu bisa terwujud jika urbanisasi berada pada tingkat yang terkontrol (UNDP, Human Development Report, 2005). Alih-alih kemajuan yang didapatkan dari urbanisasi, justru urbanisasi malah jadi biang kerok berbagai permasalahan pelik kota. Kemiskinan, pengangguran, pemukiman kumuh, banyaknya gepeng (gelandangan dan pengemis), tingkat kriminalitas tinggi adalah sebagian contoh akibat langsung maupun tidak langsung dari urbanisasi. Jadi tidaklah janggal jika pemerintah kota menjadi pihak yang paling getol  menghadapi “ancaman urbanisasi”.

Dari pemantauan pemerintah ada dua arus besar menjadi pendorong urbanisasi, yang pertama adalah tahun kelulusan siswa/mahasiswa dari studinya. Arus pertama ini bagi pemerintah kota bukan ancaman serius, selain karena segi kuantitas tidak terlalu banyak, dilihat dari segi kualitas mayoritas adalah tenaga-tenaga terdidik yang potensial dan mempunyai prospek kerja (formal) cukup tinggi. Bahkan banyak yang memandang mereka akan membawa urbanisasi kearah positif untuk kemajuan kota. Arus yang kedua adalah di saat pasca lebaran. Arus inilah yang paling diantisipasi ekstra oleh pemerintah kota dan menjadi ancaman serius bagi mereka. Kebanyakan perantau baru dari arus balik lebaran ini datang dari wilayah miskin di Indonesia. Kebanyakan lagi dari mereka tidak mempunyai modal yang cukup mengarungi sengitnya persaingan kerja di kota. Dengan latar pendidikan minim,  skill yang kurang mumpuni, dan sumber daya finansial (modal dana) juga kurang memadai semakin mempersulit para migran urban meraih kesuksesan di kota. Kalaupun ada yang sukses mungkin bisa dihitung dalam hitungan jari dibanding ratusan migran lainya. Itupun karena mereka mempunyai soft skill yang menunjang kerjanya seperti keuleten, pekerja yang keras, humanis dalam membangun jaringan, dan yang paling penting adalah kejujuran untuk membangun trustment.

Magnet Perantau Di Masa Mudik

Sudah jadi tradisi masyarakat Indonesia di setiap perayaan lebaran menyempatkan diri untuk mudik kembali ke daerah asalnya. Sekedar berkangen mesra dengan sanak saudara dan kerabatnya di desa, orang – orang perantauan ini rela berkorban banyak asalkan bisa pulang kekampung halaman. Tidak ada yang salah dengan ini, yang disesalkan hanya action mereka ketika di kampungnya menampilkan diri secara berlebihan. Walaupun berkesan seperti agak “dipaksakan” mereka sering mencitrakan diri sebagai orang yang sudah mapan dan telah sukses selama merantau di kota. Ditambah lagi dengan penampilan gaya hidup ala kota, tak ayal banyak kerabat menjadi terpikat untuk ikut merasakan nikmat hidup di kota. Di benak mereka yang terbayang hanyalah sebuah kesuksesan yang menanti di kota.

Pasca lebaran adalah moment yang paling sering dimanfaatkan para calon perantau untuk ikut mencicipi hidup di kota. Ketertarikan mereka untuk merantau ke kota tidak lepas dari pengaruh perantau lama yang kebetulan sedang mudik ke daerah asalnya. Memang dalam pengaruhnya tidak selamanya dilakukan secara langsung dengan cara mengajak. Tanpa ada ajakan secara persuasifpun, mereka seringkali menampilkan informasi “palsu” tentang kondisi dirinya dan kota rantauannya. Dengan informasi “palsu” itupun sudah cukup bagi calon perantau untuk membulatkan tekadnya melakukan imigrasi. Belajar dari sang pendahulunya dengan motivasi berlapis dan cita-cita selangit para calon perantau siap untuk mengadu nasib di kota. Mengandalkan kenekatan tanpa ada modal (baca: bondo) yang cukup, panggilan “Bonek” (Bondo Nekat) kini menjadi panggilan akrab bagi calon perantau.

Mencermati Urbanisasi Di Indonesia

Banyak faktor yang menyebabkan mengapa urbanisasi begitu tinggi hingga tak terkontrol. Salah satunya adalah dari peninggalan kebijakan jaman orde baru yang masih menyisakan masalah hingga dewasa ini. Paradigma sentralisasi pemerintahan dan pembangunan ekonomi terpusat adalah hal yang menjadi faktor pendorong terjadinya urbanisasi dengan konsentrasi migrasi yang tidak sehat. Daerah kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi ekonomi daerah. Pemerintah pusat juga tidak mau memecah kosentrasi pembangunan ke daerah untuk pemerataan pembangunan. Yang terjadi sekarang ini adalah jomplangnya pembangunan satu daerah dengan daerah yang lain.

Selain itu jika kita flashback awal pemerintah orde baru saat itu terlalu berfokus pada pembangunan industri subtitusi import (manufactur) dengan mengabaikan sektor yang menjadi penghidupan mayoritas penduduk yakni sektor pertanian. Kalaupun sektor pertanian sempat dianggap maju dengan swasemba berasnya, tapi kemajuannya hanya berlangsung singkat, karena orientasi pembangunan pertanian saat itu berdasarkan paradigma industri subtitusi import (mencukupi pangan nasional), bukan pada pengembangan sumber daya pertanian dan keunggulan produk pertanian. Sektor pertanian sangat identik dengan kehidupan ekonomi desa. Jika sektor pertanian tidak berkembang maka ekonomi desa juga terkena dampak buruknya. Sektor pertanian yang tidak menjanjikan lagi dan lapangan perkejaan yang minim di desa, ditambah lagi rata-rata pendidikan yang rendah menjadi faktor pendorong masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi.

Orde baru memang telah jatuh selama satu dekade terkahir, tapi sisa kebijakannya masih terasa sampai saat ini. Mindset masyarakat desa tentang urbanisasi sebagai peningkatan taraf hidup masih belum banyak berubah. Orde reformasi dengan otonomi daerahnya juga tidak mampu menjawab banyak untuk memajukan ekonomi desa, terbukti dengan masih tingginya urbanisasi. Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).

Mencari Solusi Terbaik

Dalam mencari solusi permasalahan urbanisasi dapat dibagi menjadi dua jalan penyelesaian, yakni secara struktural sebagai prioritas utama dan secara kultural sebagai sarana pendukung/pelengkap. Cara struktural seperti yang diajukan oleh Weller and Bouvier (1981), menyebutkan ada tiga alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi urbanisasi. Solusi pertama, melarang penduduk pindah ke kota. Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah kota di indonesia dalam beberapa tahun terakhir, biasa disebut dengan operasi yustisi. Kebijakan ini dipandang terutama dari kalangan LSM terlalu otoriter dan berpotensi melanggar HAM. Pandangan ini ditentang oleh Direktur Eksekutif KP3I (Komite Pemantau Pemberdayaan Parlemen Indonesia) Tom Pasaribu dan menganggap operasi yustisi tidak melanggar HAM. Alasannya sangat logis karena memang sasaranya adalah orang-orang yang tidak jelas identitasnya dan berkeliaran di kota, jadi tidak ada pelanggaran HAM didalamnya. Kebijakan jangka pendek ini ternyata cukup efektif untuk sedikit menekan arus urbanisasi.

Solusi kedua, menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota. Keseimbangan pembangunan itu bisa dicapai jika ada komitmen untuk melakukan pembangunan hampir semua sektor di pedesaan, seperti industri dan jasa. Selain itu, pemerintah perlu menata reforma agraria, memberdayakan masyarakat pedesaan dan membangun infrastruktur pedesaan. Setelah itu jangan sampai ada kesenjangan penghasilan yang tinggi antara desa dan kota. Bayangkan saja, dengan menjadi Pak Ogah (polisi cepek), pemulung, tukang semir sepatu, tukang parkir atau pengumpul barang bekas di Ibukota Jakarta atau di Surabaya, kaum migran memperoleh pendapatan sebesar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan penghasilannya di desa. Dengan adanya kesenjangan pendapatan itu, maka pilihan untuk berurbanisasi adalah hal yang rasional secara ekonomis bagi mereka.

Solusi ketiga, mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik. Solusi kedua dan ketiga diatas termasuk penyelesaian dalam jangka panjang.

Cara penyelesaian kedua adalah dengan jalan kultural. Cara penyelesaian ini penting untuk didorong untuk mendukung sistem yang ada (supporting system). Intinya adalah bagaimana membangun budaya yang kondusif untuk mengatasi problematika masyrakat miskin desa. Beberapa hal salah satunya dengan menggali lagi local wisdom yang dimiliki dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Lokal wisdom dikebanyakan desa adalah rasa persaudaraan dan kebersamaan antar masyarakat. Dari sini akan melahirkkan budaya gotong royong termasuk juga dalam gotong royong dalam perekonomian. Ilustrasi simpel ketika ada warga yang mengalami kesulitan ekonomi atau kesulitan apapun, dengan rasa persaudaraan warga lain tidak akan sungkan untuk menolong warga yang mengalami kesulitan. Maka jika ini menjadi budaya yang masif, tentu permasalahan kemiskinan desa dapat ditekan. Yang kedua adalah membangun budaya yang respect terhadap kebijakan positif pemerintah. Dengan cara mensosialisasikan dan ikut menyukseskan kebijakan pemerintah tersebut. Apalagi kini ruang aspirasi desa sudah dibuka seluas-luasnya dalam era otonomi daerah. Dalam penyusunan anggaran contohnya pemerintah berusaha turun kedesa dan kecamatan untuk mendengarkan aspirasi secara langsung. Harusnya ini dapat dimanfaatkan masyarakat desa untuk menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di desanya.

Menjalankan berbagai solusi diatas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh banyak dukungan untuk menjalankannya, terutama yang paling ditunggu adalah kebijaksanaan pemerintah. Apakah cukup dengan kebijakan menutup lubang atau lebih hebat lagi setelah menutup lubang lalu dilapisi dengan beton agar tidak berlubang lagi? Operasi yustisi dengan orientasi jangka pendek haruslah di dibarengi dengan kebijakan jangka panjang, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan membangun kesejahteraan di desa-desa yang masih dilanda kemiskinan. Didukung dengan budaya masyarakat bergotong royong membangun perekonomian bersama, mungkin urbanisasi tidak akan menjadi ancaman bagi negara ini.

Sebuah Refleksi kemerdekaan Bagikan

oleh : Dedy Yanwar (Kastrat KAMMI UGM)

Ketika mendengar kata kemerdekaan apa yang terbesit dalam pikiran kita? Kebebasan, kesejahteraan, terlepas dari penjajahan? Begitu banyak manusia yang memuliakan dan mengidam-idamkan kemerdekaan. Lalu apa yang membuatnya begitu berarti? Semua sepakat jika kata kemerdekaan cenderung mempunyai konotasi makna positif ketimbang makna negatif. Dari skala kehidupan terkecil saja yakni tiap individu manusia, mensaratkan adanya kemerdekaan pribadi sebagai nilai paling ideal. Tentunya dalam Islam kemerdekaan individu harus dapat dipertanggungjawabkan, terutama kepada Allah dengan syari’atnya, terhadap individu yang lain, juga terhadap bangsa dan negarannya.

Islam sendiri sangat memuliakan makna kemerdekaan. Tengoklah tujuan Islam datang di muka bumi ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memerdekakan manusia dari penjajahan nafsu syaithani. Hal yang mengakibatkan manusia terjebak pada perilaku sirik menyekutukan Allah dan kezhaliman yang lain. “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”…….. (Qs. An-Nahl : 36). Islam juga menghendaki manusia bebas dari belenggu tirani, baik yang dilakukan oleh personal maupun dari sistem jahil yang berlaku. Islam membawa konsep kesetaraan manusia dihadapan Allah, lalu sistem perbudakan pun dihapuskan. Sikap ashobiyah (fanatik kesukuan) dihilangkan, diganti dengan kepimpinan Islam yang adil dan bebas dari perilaku tirani. Maka tidak salah lagi bahwa hadirnya Islam memang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Negara Indonesia tidak hadir dalam sekejap mata, melainkan melalui proses panjang hingga mencapai klimaks kemerdekaan. Tidak ada yang menyanggah begitu besarnya peran umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bagi mereka berjuang melawan pemerintah kafir Belanda adalah perjuangan suci melawan tirani membela kemuliaan ad-Diin al-Islamiyah. Perjuangan yang gigih atas dasar karena Allah semata, mengantarkan para pejuang mukmin mendapatkan gelar mulia sebagai seorang syuhada’. Maka sudah sepantasnya melihat realitas sejarah, umat muslim mendapatkan tempat terhormat di negeri ini, ditambah lagi umat muslim adalah mayoritas penduduk. Jerih payah perjuangan harusnya dapat dinikmati umat muslim dewasa ini. Menikmati kesejahteraan hidup, pendidikan yang layak, keindahan jalinan ukhuwah, dan yang paling penting adalah aktualisasi syariah Islam dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Tapi realitas saat ini seperti apa, kita sendirilah yang bisa menilainya.

Dalam suasana euphoria perayaan kemerdekaan Indonesia saat ini, terpenting adalah bagaimana Islam dapat merefleksikan kemerdekaannya secara tepat dalam kerangka syariat. Lalu memahami makna kemerdekaan itu dengan tetap mengedapankan budaya kritis, juga mengisinya dengan hal yang positif. Bagaimana juga meyakinkan diri kita tentang arti sumbangsih terhadap bangsa ini. Bahwa semuanya sebenarnya juga akan kembali kepada umat muslim sendiri, karena penduduk Indonesia nyatanya memang mayoritas muslim. Berangkat dari situlah kita akan terpacu untuk selalu berbuat ma’ruf dengan progresif dalam setiap kebijakan produktif. Terdepan dalam mencegah perbuatan yang mungkar dengan tegas dalam kebijakan preventif.

Janji Kampanye bukan Komoditi Politik

Oleh : Dedy Yanwar E (Kastrat KAMMI Komsat UGM)
Gegap gempita pesta demokrasi telah usai dilalui, banyak asa yang diharapkan kepada orang-orang yang terpilih nantinya. Di dalam pemilu rakyat adalah the key player, tapi setelah itu siapa yang mengenal rakyat lagi? Ketika pemilu berakhir semuanya telah selesai, rakyat kembali menjadi penonton. Mereka kembali hanya bisa terduduk manis sambil menyaksikan suguhan parodi di dalam istana dan senayan sana. Demokrasi hanya menjadi simbol-simbol penghias penguasa untuk memperalat rakyatnya. Tidak ada kepentingan rakyat, yang ada hanyalah kepentingan pribadi dan kelompok. Benar adanya pendapat Thomas Hobbes bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kecenderungan buruk. Oleh karenanya, manusia hanya mau memperjuangkan kepentingan diri sendiri.

Rakyat harus kembali menelan ludah dalam-dalam melihat harapan mereka hanya menjadi barang mainan dan komoditi politik. Ini bukan hujatan tanpa alasan, juga bukan tuduhan tanpa bukti. Semua tahu rekam sejarah yang telah terjadi. Jejak pemilu ditahun 1999 dan 2004 telah menjadi bukti nyata, menyibak kedok kepalsuan selama ini. Janji-janji perbaikan hanyalah rayuan kosong untuk menipu masyarakat agar mau memilih mereka. Dari pemerintahan Gus Dur, Megawati, hingga SBY semuanya meleset menepati janji-janji kampanyenya yang mereka elukan. Pantas saja publik semakin apatis dengan keberadaan pemilu. Data menunjukkan angka penurunan tingkat partisipasi masyarakat dari tiga pemilu terakhir. Bahkan di dua pemilu terakhir tahun 2004 dan 2009 sejatinya pemenang pemilu bukanlah partai politik, tapi pemenangnya adalah rakyat yang memilih golput.

janji mereka yang meleset

Setelah pemilu legislatif yang menetapkan anggota DPR/MPR 1999-2004, diselenggakan pemilihan presiden tanggal 20 Oktober 1999. Abdurahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai presiden pertama di masa reformasi. Realisasi janji-janji Gus dur untuk memperbaiki keadaan bangsa begitu dinantikan. Beliau pernah berucap manis kala itu, “Pemerintah pada dasarnya harus memberikan pertanggungjawaban yang jujur pada rakyat.” Apa yang Gus dur ucapkan ternyata tidak terbukti di lapangan. Sang presiden malah tersandung berbagai skandal yang akhirnya melengserkan dirinya. Terhitung 19 bulan Gus dur memimpin dengan catatan rekor fantastis!! Dalam tempo waktu itu Gus dur dan istrinya telah mengunjungi total 90 negara di dunia. Menghambur-hamburkan uang rakyat dengan maksud tak jelas. Belum lagi dengan keterlibatanya dalam kasus KKN seperti Bulog gate dan Brunei gate ditambah lagi dengan santernya isu perselingkuhan beliau. Jelas saja rakyat dan mayoritas anggota DPR menghendaki Gusdur segera lengser dari jabatannya.

Gus Dur lengser, Mega pun naik tahta. Harapan baru berada di pundak putri sulung proklamator ini. Dengan membawa kharisma ayahnya Soekarno sang founding father bangsa ini tidaklah cukup. Tidak ada jaminan kepemimpinan Megawati akan segemilang ayahnya. Paham nasionalisme ala Soekarno yang sering kali menjadi icon saat kampanye, ternyata tidak berbekas dalam pemerintahan Mega. Berbagai aset negara saat itu dengan mudahnya dijual kepihak asing dan swasta. Ditambah lagi berbagai perusahaan nasional dan transnasional seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Nike, PT Toyota yang gulung tikar menambah jumlah pengangguran di Indonesia.
Rakyat aceh sempat menjadi saksi ketidaktepatan janji yang di gembar-gemborkan pemerintahan Megawati. Tahun 2001, Megawati pernah berpidato di depan ribuan rakyat aceh. Ia berjanji akan menghentikan pertumpahan darah akibat operasi militer di Aceh. Tak disangka di tahun 2003 Megawati justru menggerakkan operasi militer lagi ke sana. Ribuan tentara dikerahkan dan pertumpahan darah terulang lagi Aceh.

SBY bagaimana ?

Pemilu 2004 menjadi catatan sejarah baru bagi Indonesia dengan pertama kalinya presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasangan SBY-JK yang menjadi penantang saat itu berhasil mengalahkan incumbent presiden Megawati. Hasil yang mudah ditebak mengingat banyak masyarakat yang kecewa dengan capaian Megawati selama ini. Apalagi SBY seperti membawa angin segar bagi masyarakat dengan sosok barunya, dan janji-janji yang begitu memikat. Tercatat total ada 24 klasifikasi pembangunan yang pernah dijanjikan oleh pasangan SBY-JK selama masa kampanyenya di tahun 2004 .
Setelah terpilih dan dilantik, SBY juga mencanangkan janjinya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPKJ) Tahun 2004 -2009 yang terdiri dari 36 bab bidang pembangunan. Isinya cukup solutif dan komplit meliputi bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan pertahanan. Tapi dari semuanya itu yang terpenting apakah SBY benar-benar bisa merealisasikannya di lapangan atau tidak?
Evaluasi yang dilakukan hasilnya ternyata tidak sesuai yang diharapkan. Berbagai bidang yang masuk dalam rencana pembangunan dinilai gagal diwujudkan. Contohnya dalam target-target kuantitatif seperti dalam pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target diatas rata-rata 6,6%. Pengendalian inflasi rata-rata 5,4 % juga gagal diwujudkan. Jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran masih tinggi sebesar 15,4% dan 8,4%, jauh dari target yang diinginkan. Lainnya seperti gagal menjaga kestabilan kurs rupiah, penegakan supremasi hukum belum beres (penyelesaian kasus munir), masalah masih lemahnya kedaulatan bangsa (Ambalat), dan yang paling disorot adalah privatisasi sebanyak 10 perusahaan BUMN dan mengagendakan lagi privatisasi 34 perusahaan BUMN ditahun 2008. Padahal jelas bahwa privatisasi ini sangat bertentangan dengan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 33.

SBY Terpilih lagi: tetap harus maksimal di akhir pemerintahan

Tahun demi tahun pemerintahan SBY berlalu, sampai kini menjelang masa purnanya tahun 2009 tinggal hitungan bulan. SBY memang terpilih lagi, tapi bukan berarti Pemerintah SBY-JK boleh lepas begitu saja. Pasangan SBY-JK harus tetap berkomitmen menyelesaikan akhir baktinya dengan baik. Apalagi Jusuf Kalla kelak sudah tidak menjabat lagi sebagai wakil presiden mendampingi SBY. Tentu beliau ingin menggoreskan catatan akhir yang indah bagi bangsa ini. Begitu pula SBY harus maksimal merealisasikan janji politiknya di tahun 2004 kalau ingin janji politiknya di pemilu sekarang ini dipercaya oleh rakyat.
Beberapa PR sebenarnya masih bisa di optimalkan SBY-JK di akhir pemerintahan. Yang pertama menyegerakan pembuatan Perppu pengadilan Tipikor untuk menggantikan RUU Tipikor yang belum kelar digarap DPR. Ini sangat penting karena pemberantasan korupsi mensaratkan adanya landasan hukum yang jelas. Kedua dalam pembuatan rancangan APBN 2010 yang benar-benar pro rakyat. Diharapkan APBN cukup ekspansif penganggarannya dan alokasinya juga mampu tepat sasaran. Ketiga Menyelesaikan proyek pembangunan infrastruktur yang belum rampung seperti listrik, pelabuhan, airport, perkeretaapian, jembatan dan lain-lain, yang sudah di canangkan sejak awal. Keempat sejumlah program rakyat antara lain seperti konversi minyak tanah ke gas Elpiji, program rumah susun 1.000 menara, pembangkit listrik 10.000 megawatt tahap I dan II.

Dengan memaksimalkan kinerja di tiga bulan akhir ini memang tidak mungkin mampu merealisasikan semua janji SBY. Tapi paling tidak sedikit menjadi obat penawar bagi kita dan juga modal penting bagi SBY untuk memulai pemerintahan barunya nanti. “Saya dan Pak Jusuf Kalla harus mengemban tugas pemerintahan hingga Oktober. Inilah kontrak kami berdua dengan para menteri,” ucapan SBY ingin menunjukkan komitmennya. Selain itu masyarakat juga harus jadi rekan pemerintah yang baik, dengan terus mengkontrol kinerja pemerintah. Tanpa itu akan mustahil pemerintah akan berjalan sesuai track-nya. Kepercayaan rakyat jangan sampai lagi di permainkan. Pemimpin yang dipilih rakyat mengemban amanah yang berat, tapi tetap harus mempertanggungjawabkannya secara benar. Bahkan pertanggungjawaban ini bukan hanya di dunia tapi juga akherat kelak.