Kertas Posisi KAMMI Komisariat UGM No.1/2011 tentang 13 Tahun Reformasi

13 TAHUN REFORMASI INDONESIA, HAK-HAK DASAR RAKYAT MASIH BELUM TERPENUHI

Reformasi Indonesia kini telah menginjak usia 13 tahun. Ada banyak catatan kritis yang patut diberikan mengenai perjalanan sebuah proses politik yang digawangi oleh gerakan mahasiswa tersebut. Pergantian kepemimpinan, proses menuju demokratisasi, hingga perubahan struktur sosial-politik telah terjadi dalam kurun waktu tersebut. Pertanyaannya, ke mana perubahan itu akan diarahkan ke depan?

KAMMI memandang, Selama 13 Tahun Reformasi, semua institusi politik baik eksekutif maupun legislatif masih memiliki jarak politik dengan rakyat. Pemilu hanya menjadi ajang seremonial politik, bahkan kerap diwarnai oleh permainan politik uang. Penegakan supremasi hukum yang adil dan berdaulat masih belum tuntas dilaksanakan, justru banyak menuai catatan buruk akibat mafia hukum dan rasa keadilan yang belum dirasakan oleh semua elemen masyarakat, terutama masyarakat miskin.

Persoalan tersebut akan semakin ironis ketika kita melihat fakta bahwa hak-hak dasar rakyat hingga saat ini belum terpenuhi secara baik. Problem sosial, politik, dan hukum akan semakin kronis dengan fenomena tidak terpenuhinya hak ekonomi sosial dan budaya rakyat Indonesia. Maka, KAMMI menyatakan perlu untuk melihat secara lebih dalam bagaimana hak-hak tersebut diakses oleh rakyat Indonesia.

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang harus dipenuhi oleh negara kepada rakyatnya sebenarnya sudah menjadi sebuah konsensus internasional. Hak-hak tersebut termaktub dalam Kovenan Internasional mengenai Hak Ekosob (ICESCR) tahun 1976. Deklarasi Wina tahun 1993 memperkuat kovenan tersebut dengan menyatakan bahwa Hak Ekosob adalah hak yang tak terpisahkan dari Hak Sipil dan Politik yang memuat kebebasan berpendapat.

Artinya, hak untuk mendapatkan makanan, kesejahteraan, pekerjaan, dll. adalah tugas penting dari negara, yang diatur sebagai Hak Asasi Manusia. Indonesia sudah meratifikasi kovenan tersebut pada tahun 2005. Dengan demikian, Indonesia juga memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak rakyatnya.

Secara umum, ada 11 jenis hak ekonomi, sosial dan budaya yang diatur pada Bagian II Kovenan tersebut. Kesebelas hak tersebut antara lain hak atas pekerjaan, hak mendapatkan program-program pelatihan teknis dan vokasional, hak untuk mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik, Hak untuk membentuk serikat buruh; Hak untuk menikmati jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, Hak untuk menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan.

Selain itu, kovenan juga mengatur hak atas standar hidup layak, termasuk pangan, sandang, dan perumahan, Hak untuk terbebas dari kelaparan, Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi; Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma; Hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya dan menikmati keuntungan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya (Sumber: PATTIRO Solo).

Bagaimana fakta pemenuhan hak tersebut di Indonesia?

Kita melihat banyak sekali problem yang terjadi. Para petani di berbagai daerah pertambangan harus berjuang mempertahankan hak atas tanah dan lingkungannya dari pembebasan lahan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Para buruh dihisap tenaganya oleh praktik outsourcing dan upah yang rendah. Sementara hak kesehatan untuk warga miskin juga belum bisa diakses secara penuh akibat komersialisasi layanan kesehatan.

Hingga tahun 2010, sedikitnya 30 Juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara sedikitnya 7 dari 100 rakyat Indonesia merupakan pengangguran terbuka (Data BPS, Maret 2010). Di bidang pendidikan, kita menghadapi fakta bahwa sedikitnya 11,7 juta anak putus sekolah, 2,1 juta menjadi pekerja anak, 156 ribu anak jalanan, serta 161 ribu gedung sekolah rusak (Data KAMMI Sleman, 2 Mei 2011, dilansir pula oleh Banjarmasin Post).

Sampai saat ini, Indonesia masih belum memiliki sistem jaminan sosial nasional yang menjamin kaum miskin untuk tetap dapat mengakses kesejahteraan (RUU masih mandeg di DPR). Tingkat kematian ibu dan bayi di Indonesia masih dinyatakan tertinggi di Asia (Data Kemeneg PP). Sementara itu, eksistensi budaya lokal kian hari tergerus oleh arus globalisasi, terutama di kota-kota besar di Indonesia.

Inilah realitas yang kita hadapi setelah 13 tahun “menikmati demokrasi” di Indonesia.

Oleh karena itu, Tonggak 13 tahun reformasi harus menjadi sebuah titik tolak pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi, dan budayayang menjadi hak segenap rakyat Indonesia. Maka dari itu, KAMMI menyerukan bahwa arah gerak Reformasi ke depan harus diwujudkan dengan keberpihakan pemerintah kepada rakyat. Negara tidak boleh absen dalam pemenuhan hak rakyat yang menjadi tujuan berdirinya negara Indonesia, serta menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

KAMMI telah men-tanfidz-kan bahwa segala bentuk kebathilan adalah musuh abadi KAMMI, dan solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI. Maka dari itu, sebagai sebuah gerakan tajnid dan gerakan amal, KAMMI berpijak di atas sikap menentang penindasan manusia atas manusia, melawan segala bentuk kezaliman ekonomi, sosial, dan budaya, serta menuntut peran negara untuk memenuhi hak-hak dasar rakyat Indonesia sebagaimana telah menjadi tujuan berdirinya negara Indonesia dalam pembukaan UUD 1945.

Untuk itu, pada momentum 13 Tahun Reformasi Indonesia, KAMMI Komisariat UGM mengeluarkan sebuah stance sederhana: Pertegas Peran Negara dalam Memenuhi Hak-Hak Dasar Rakyat Indonesia. Pada posisi itulah kami menyerukan agar kedaulatan rakyat di segala bidang harus menjadi tujuan dalam pembangunan di negara ini.

Yogyakarta, 17 April 2011
Ketua Bidang Kajian Strategis KAMMI Komisariat UGM (Demisioner),

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Leave a comment