Berdakwah Itu Adalah Investasi :
Studi Awal dari Sudut Pandang Materialis
Oleh:
M Al F
Antropologi Budaya
Terkadang ketika kita ingin mengambil sebuah keputusan, kita cenderung ingin mendapatkan hasil secepatnya. Pada umumnya, kita ingin menuntut ‘mana’ hasil yang kemarin kita rencanakan itu? Dan kita pun tidak sadar sebagai seorang muslim yang memiliki niat untuk berdakwah atau sebagai seorang mas’ul, sebagai staf dari lembaga dakwah fakultas atau lembaga dakwah kampus, ataupun yang mengatasnamakan suatu golongan, dalam hatinya terbesit perkataan “orang orang sekitar kita kok gak berubah-berubah ya? Padahal sudah banyak kajian, fasilitas pelayanan publik di musala agar mereka salat, sudah banyak materi yang kita berikan, tapi kok gak berubah berubah ya”. Atau mungkin ada yang mengatakan, “eh, si anu itu kalau di ajak untuk salat Jumat kok gak mau ya, padahal salat Jumat itu hukumnya kan wajib”. Namun setelah beberapa hari, atau beberapa bulan, atau beberapa tahun kemudian, kita mendapati si ‘Anu’ tadi menjadi salah satu jemaah di suatu masjid, mendapati orang orang yang kita dakwahi dahulu, kini telah menjadi orang-orang yang rajin salat, rajin ke masjid, dan rajin mengaji.
Inilah yang dinamakan ‘dakwah itu adalah investasi’. Investasi apa? ‘investasi kebaikan’. Sebagaimana, direktur Rumah Kepemimpinan, Bachtiar Firdaus, mengatakan “sebelum kita membicarakan kebaikan, hendaklah paling utama, yang harus dibangun itu adalah build the trust bangunlah kepercayaan sesama kita”. Begitupun dengan konsep dakwah seperti hal itu, bahwa ketika kita mengingatkan seseorang untuk suatu kebaikan, secara tidak langsung kita sudah melakukan yang disebut investasi terhadap seseorang tersebut, yaitu sebuah ‘investasi kebaikan’.
Hal tersebut jika diperhatikan terkait cerita para ‘Al-Anbiya’ terdahulu, maka dapat dianalisis menggunakan landasan pemikirannya yang seperti ini. Sebagai contoh, kisah Nabi Musa ketika menerima wahyu dari Allah. “Izhab ila fir’auna innahu thaga”, yang artinya adalah “pergilah ke Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”. Jika dipikir-pikir dan menghayati kisah perjalanan Nabi Musa ini, timbul pertanyaan ‘bagaimanakah Nabi Musa dapat sampai ke istana Fir’aun?’. Sedangkan jika ditelisik lebih jauh, ketika itu Nabi Musa memiliki berbagai macam tekanan, hambatan, dan rintangan untuk mencapai istana Fir’aun. Lantas apa tekananya?
Ada tiga kondisi yang menekan Nabi Musa pada saat itu. Pertama, Nabi musa menjadi buron oleh pemuka masyarakat Mesir karena telah membunuh warga sipil akibat ditinju oleh Nabi Musa. Kedua, ketika itu Fir’aun memiliki pengaruh politik yang kuat. Salah satu buktinya, bahkan raja-raja di seluruh dunia mengetahui tentang kekuasaan Fir’aun sehingga mereka mengirim anak-anaknya untuk bersekolah di sana. Ketiga, bahwa raja Fir’aun memiliki kekuatan militer yang kuat. Salah satu buktinya adalah ketika bagaimana budak-budak yang dipekerjakan untuk membuat Piramida dikawal melalui para tentara Fir’aun. Tidak hanya itu, tentara Fir’aun juga memiliki persenjataan perang yang lengkap, mulai dari kereta kuda, alat senjata, dan sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang dilakukan oleh Nabi Musa ketika ia mendapatkan wahyu dari Allah? Apakah Nabi musa meminta kepada Allah berupa tentar-tentara yang kuat untuk mengawalnya sampai ke istana? Apakah Nabi Musa meminta sebuah kendaraanapakah itu kendaraan berupa awan terbang, atau kuda untuk sampai ke sana? Apakah Nabi Musa meminta uang kepada Allah yang nantinya digunakan untuk menyogok para pemuka masyarakat atau hulubalang agar memperbolehkan ia masuk dan bertemu Fir’aun? Jawaban dari ketigaa pertanyaan itu tentu tidak.
Nabi Musa tidak meminta kepada Allah satupun kecuali dengan doa rabbi srahli sadri, yang artinya adalah “Ya Allah, lapangkan dadaku”. Memang jika kita mendengar doa ini akan terkesan biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Kebanyakan orang mengira ini adalah doa untuk belajar, doa menjelang penampilan di arena MTQ, atau sebagainya.
Padahal jika diperhatikan dengan serius kisah ini dan menganalisisnya dari sudut pandang materialis, kita akan terkejut. Kenapa Nabi Musa berdoa seperti itu? Apa sih keuntungan atau manfaatnya? Justru kita tidak akan mendapatkan hasil yang berupa ‘materi’ setelah memunajatkan doa tersebut.
Jika dikaji menggunakan analisis materialis, kita tidak akan menemui jawabanya. Jika dikaji berdasarkan keimanan dan ketaqwaan sesesorang Nabi Musa, maka disanalah jawabannya akan semakin jelas. Namun disini saya ingin mengajak menyoroti bagaimana Nabi Musa mengambil keputusan ketika menerima wahyu tersebut, bahwasanya Nabi Musa tidak meminta ‘apa-apa’ melainkan berdoa kepada Allah dengan “Rabbish rahli Shadri”.
Adapun hal bisa yang dapat kita lihat dari kehidupan Nabi Muhammad SAW pada tahap awal beliau berdakwah di Mekkah. Kita semua mengetahui tentang peristiwa ketika Rasulullah ditawari tiga dari pemuka suku Quraisy. Penawaran pertama adalah kedudukan, yang mana nantinya Rasulullah akan menjadi raja dan memimpin suku Quraisy. Kedua adalah wanita, bahwa nantinya wanita tercantik di Jazirah Arab akan dinikahkan dengan Rasulullah. Ketiga adalah harta, yang dikumpulkan oleh penduduk suku Quraisy dan nantinya diserahkan kepada Rasulullah. Namun dari tiga penawaran yang begitu menggiurkan tersebutatau yang jika dilihat sepintas dapat mengangkat harkat martabat dan menunjang dakwahnya, Rasulullah dengan tegas menolak dan mengatakan “jika seandainya tangan kanan saya diletakkan rembulan dan tangan kiri matahari, aku akan tetap akan melanjutkan dakwah ini”.
Sebuah keputusan yang luar biasa dan lagi-lagi bersifat investasi untuk umat Islam kedepannya. Sehingga saat ini, kita dapat merasakan indahnya Islam, dan merindukan kejayaan Islam. Andai saja Rasulullah menjatuhkan pilihan pada tawaran tersebut, tentu Islam tidak seperti yang kita kenal hari ini.
Berdasarkan dua kisah di atas, dapat kita ilhami bahwasanya dalam konteks dakwah, hendaknya kita meniru bagaimana nabi-nabi terdahulu dalam mengambil keputusan ketika berdakwah. Terkadang kita harus berpikir rasional untuk mengambil keputusan dalam dakwah. Namun lagi-lagi, kita juga harus menghadirkan sudut pandang ‘yang investasi tersebut’. Di tengah-tengah zaman saat ini, para Da’i dituntut untuk berpikir moderat dalam mengambil keputusan. Apalagi konteksnya adalah untuk berdakwah.
Sekian tulisan ini dibuat, segala kesalahan datang dari saya dan kebenaran dari Allah. Wallahu a’alam